Relief Fabel sebagai Media Pengenalan Nilai Pada Anak Usia Dini
Relief Fabel sebagai Media Pengenalan Nilai Pada Anak Usia Dini
Oleh : Kirno
Usia emas (0 – 8 tahun) adalah usia dimana anak-anak dengan cepat dapat menangkap semua informasi dan rangsangan yang diperoleh dan menyimpannya dalam memori mereka. Sebagai pondasi, pendidikan tentang nilai sangatlah penting di usia ini agar mereka menjadi manusia yang memiliki ketaqwaan, kemandirian, menghargai orang lain, solidaritas, dan bertanggung jawab.
Nilai adalah sebuah hasil olah rasa yang digunakan untuk mengapresiasi atau menghargai sebuah benda, dengan budi dan dayanya manusia menilai semua yang ada di sekitarnya sehingga didapatkan nilai tinggi seperti kemuliaan, kejujuran, dan kesucian. Pada perkembangannya hal tersebut diterjemahkan menjadi norma, etika dan moral.
Di dalam ranah pendidikan TK, pembelajaran meliputi dua hal yakni pengembangan pembiasaan dan kemampuan dasar. Pembiasaan yang berulang dilakukan setiap hari dengan tujuan memiliki kebiasaan yang baik seperti sosial, kemandirian, dan emosional. Pembelajaran kemampuan dasar bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kreatifitas meliputi bahasa, kognitif, motorik dan seni.
Nilai-nilai pekerti dapat dikenalkan sejak dini dengan harapan melandasi konsep berpikir anak-anak. Perlu adanya usaha yang mengarahkan mereka kepada nilai-nilai tersebut. Di tengah maraknya media elektronik dan gadget yang mudah di akses maka pendidik kreatif,yang diterjemahkan tidak harus guru tapi bisa juga orang tua, harus fleksibel dalam memberikan pendidikan nilai tersebut. Melalui pendidikan ini anak ditanamkan tentang segala bentuk nilai-nilai dan budaya sehingga dapat merasakan, meyerap, lalu menggunakannya dalam kehidupan sosialnya.Pendekatan pembelajaran nilai dilakukan dengan memegang prinsip-prinsip perkembangan anak yaitu berorientasi pada kebutuhan anak, bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain, menggunakan pendekatan tematik, kreatif dan inovatif, lingkungan kondusif dan mengembangkan kecakapan hidup.
Cergam fabel merupakan salah satu media ajar untuk menanamkan nilai-nilai tersebut. Melalui cergam, pendidik dapat menyampaikan pesan moral yang terkandung di dalam cerita. Cergam fabel selain ringan juga memiliki ilustrasi, tata letak (layout) serta warna-warna yang menarik. Terkait dengan cergam fabel sebenarnya terdapat salah salah satu hasil seni budaya bangsa kita yang telah mendahului keberadaan cergam tersebut yakni relief. Relief merupakan salah satu unsur hias yang digunakan di dalam candi. Nilai nilai budaya yang terdapat dalam relief dapat dijadikan bahan ajar terutama relief fabel yang cocok dengan jiwa anak-anak. Beberapa relief fabel terdapat di candi Mendut, Sojiwan, Borobudur dan Panataran.
Dengan demikian maka lingkungan percandian dapat digunakan sebagai media pembelajaran untuk menyampaikan nilai-nilai serta memperkenalkan hasil kebudayaan bangsa kita kepada anak-anak sebagai upaya menjaga kelestarian budaya.
Warisan artistik untuk pendidikan anak-anak
Pendidikan usia TK sering kali menggunakan cergam sebagai media ajar. Cergam sendiri hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena muncul juga istilah komik, tetapi di indonesia hal tersebut di jadikan satu makna seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa cerita bergambar adalah komik. Cergam dan komik secara umum digunakan untuk menyebut sebuah sastra gambar, kata cergam sendiri sendiri merupakan sebuah akronim dari cerita bergambar yang memiliki makna cerita yang berupa gambar. Sebagai sebuah hasil kebudayaan maka cergam merupakan refleksi dari zaman saat cergam tersebut di buat.
Fabel adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang dan biasanya berisi ajaran budi pekerti. Cerita fabel telah ada sejak jaman sejarah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kitab-kitab tantri yang berisi cerita fabel.
Candi merupakan salah satu bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha di Indonesia yang mengandung nilai seni religius karena fungsinya. Menurut Stutterheim, di India fungsi candi adalah sebagai tempat tinggal sementara dari para dewa, yaitu replika dari gunung atau meru atau vimana. Tetapi candi sebagai sebuah monumen para raja titisan dewa adalah pikiran yang bersumber dari kebudayaan Indonesia (Yudoseputro : 2008).
Kata candi adalah sebutan lain atau nama lain Dewi Durga dalam kaitannya dengan dewi maut yaitu “ dewi candi” atau “dewi candika” untuk memuja dewi tersebut dibuatkanlah bangunan atau “rumah” yang dalam bahasa Sansekerta adalah “grha”. Dari situ menjadi kata “Candika grha” yang berarti rumah dewi candika yaitu bangunan kuil untuk tempat pemujaan kepada dewi Candika (Haryono, 2001:1).
Relief merupakan pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya atau juga diartikan sebagai gambar timbul. Relief dalam sebuah candi selain sebagai unsur hias juga berfungsi sebagai sebuah bahasa tutur pesan yang disampaikan melalui sebuah gambar terpahat. Cerita yang digunakan berupa cerita berdasarkan kitab-kitab yang ada seperti kitab ramayana dan mahabarata. Lain halnya dengan candi buddha yang seringkali menggunakan cerita mengenai kehidupan sang Budha.
Cerita yang disampaikan dalam relief fabel meskipun dibuat ringan namun fungsinya sangat kuat. Di yakini cerita fabel muncul bukan dari golongan masyarakat biasa tapi dibuat oleh anggota masyarakat yang sudah cukup matang dan dewasa, yang tahu sungguh pandangan hidup yang seharusnya dituju sehingga ia dapat mengarahkan ajaran atau amanat cerita binatang dengan saksama.
Yogyakarta dan Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang memiliki kekayaan hasil budaya berupa kompleks percandian. Secara teritorial Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Borobudur, Candi sewu, Candi Sojiwan berada di wilayah Jawa Tengah namun lebih dekat di akses dari Kota Yogyakarta. Hingga saat ini candi masih menjadi tujuan wisata batu bersusun yang kurang menarik, melelahkan dan panas. Tanpa usaha memahami lebih dalam mengenai candi maka pendidikan yang di harapkan tentunya tidak dapat terjadi. Disinilah peran orangtua anak-anak cukup besar untuk memberikan pendidikan nilai berbasis budaya bangsa sendiri.
Anak-anak ibarat kertas putih yang dapat di coret dengan tinta berwarna apa saja sehingga dengan demikian maka pegenalan mengenai nilai-nilai dan kecintaan akan kebudayaan sendiri dapat terpenuhi disini. Mereka dapat berimajinasi dengan suasana percandian, mengamati bentuk-bentuk yang unik secara langsung. Disini orangtua berfungsi sebagai mediator antara anak dan yang dilihat. Orangtua dapat merangsang anak-anak dengan cerita, menjelaskan gambar relief, maupun interaksi tanya jawab tentang pesan yang terdapat dalam relief. Pada saat bercerita tentang relief orangtua dapat mengenalkan dan menanamkan nilai baik-buruk, benar-salah, jahat-baik, dan sebagainya. Setelah bercerita anak-anak dapat diajak untuk aktif dengan cara menunjukan tokoh di dalam relief, siapa yang baik, siapa yang jahat dan lain sebagainya. Proses ini dapat berlanjut di rumah dalam bentuk menggambar atau mewarnai candi dan bermain peran dengan cerita yang dilihat dalam relief tadi. Selain sebagai nilai estetik tenyata pada masa lalu relief yang dipahatkan memiliki tujuan tertentu seperti sebagai pendidikan moral dan kebijaksanaan kepada calon raja sejak masih muda.
Cergam fabel di Candi Sojiwan
Candi Sojiwan terletak berseberangan dengan Candi Prambanan, lebih tepatnya arah tenggara pasar Prambanan, sekitar 20 menit dari Kota Yogyakarta. Cerita fabel yang terdapat di candi Sojiwan atara lain :
1. Persahabatan kura-kura dan angsa.
Dua ekor angsa bersahabat dengan kura-kura, beberapa penangkap ikan akan menangkap ikan dan binatang lainnya di telaga tempat kura-kura tinggal. Kura-kura yang mengetahui hal tersebut berusaha meminta tolong kepada angsa untuk membawanya pergi. Dua Angsa bersedia menolong dengan catatan kura-kura tidak boleh bicara dan menggigit ranting yang akan digunakan untuk membawa kura-kura, namun dalam perjalanan kura-kura melupakan janjinya dan akhirnya jatuh dan mati
2. Pertandingan Garuda dan Kura-kura
Garuda adalah burung yang selalu menjadikan Kura-kura sebagai makanan. Tetua Kura-kura akhirnya mengambil siasat untuk menghentikan perbuatan tersebut. Kura-kura menantang Garuda beradu lari dengan catatan kalau Kura-kura kalah maka dia dan anak keturunannya merelakan diri mejadi makanan Garuda namun apabila Garuda yang kalah maka dia harus berhenti untuk memakan Kura-kura. Tejadilah pertandingan. Tetua Kura-kura mengatur agar semua kura-kura membenamkan diri di pinggir pantai dan setiap Garuda memanggil maka Kura-kura yang berada di depan Garudalah yang menyahut. Akhirnya Kura-kura memenangkan pertandingan tersebut karena kecerdikan tetua Kura-kura.
3. Kera mengendarai Buaya
Sepasang buaya tinggal diseberang sungai, sang betina meminta suaminya untuk mencarikan hati kera untuk dimakan setelah melihat seekor kera di seberang sungai lainnya. Suaminya berenang ke arah kura-kura dan mengatakan bahwa di seberang sungai lainnya terdapat pohon penuh dengan buah-buahan. Buaya bersedia membantunya dengan menyeberangkan kera tersebut. Sampai di tengah sungai, Buaya jantan mengatakan maksud sebenarnya bahwa istrinya ingin sekali makan hati kera. Kera dengan tenang menjawab bahwa dia senang sekali memberikan hatinya kepada istri buaya namun sayang hati kera tertinggal di pohon sebrang tadi dan minta ijin mengambilnya dulu. Buaya senang sekali dan mengikuti perintah kera untuk kembali ke seberang sungai sebelumnya. Begitu sampai daratan kera langsung meloncat dan pergi meninggalkan buaya. Buaya baru sadar akan kebodohannya.
Selain cerita di atas masih terdapat cerita lain yakni cerita perkelahian singa dan banteng, cerita burung melawan gajah, kisah perempuan,serigala dan ikan, cerita pemburu, busur anak panah dan serigala. Adapula cerita Pendeta , ketam, ular dan seekor burung, cerita kambing dan Gajah, certa Lembu dan serigala, dan kisah Kinnari.
Semua cerita di atas mengajarkan nilai-nilai di antaranya mengenai kesetiaan, kebaikan hati, jangan sombong, menjaga persaudaraan, kerjasama, tolong menolong, ajaran jangan rakus dan lain sebagainya. Dengan demikian maka candi dapat menjadi salah satu alternatif media pembelajaran kepada anak-anak.
Transfer pendidikan nilai kepada anak-anak
Pendidikan dan komunikasi sebenarnya memiliki sebuah konsep yang hampir sama. Proses komunikasi terjadi apabila terdapat sumber informasi, pemberi informasi, penerima informasi dan media yang digunakan untuk menyampaikan informasi. Keempatnya merupakan kesatuan yang saling terikat. Komunikasi tidak akan terjadi apabila salah satu bagian tersebut hilang.
Gen C adalah mereka yang lahir dan besar dengan pengaruh teknologi. Generasi ini memang tidak terbatasi oleh faktor usia tapi lebih cenderung kepada generasi yang terbentuk karena teknologi digital. Cyber, Creative, Connected, Cracker dan Customize adalah beberapa ciri generasi ini. Maraknya gadget seperti Ipad, iphone, notebook,smartphone yang mudah di akses oleh anak-anak memberikan peluang positif bagaimana pendidikan nilai dapat di ajarkan melalui media tersebut. Dalam konteks di atas mengenai relief candi anak dapat di rangsang untuk meggunakan media tersebut mencari gambar-gambar candi, kemudian orang tua memberikan kesempatan anak melihatnya secara langsung. Disini seni memiliki nilai kognitif.
Ada delapan pendekatan dalam pendidikan nilai menurut Martorella :
- Evocation, yaitu memberikan kebebasan ekspresi kepada anak terhadap respon afektualnya terhadap stimulus yang di terima.
- Inculation, yaitu pendekatan melalui stimulus yang mengarahkan anak ke dalam kondisi siap.
- Moral Reasoning, yaitu pendekatan melalui transaksi intelektual dalam mencari solusi suatu masalah.
- Value Clarification, yaitu melalui rangsangan terarah yang mangajak anak untuk mencari kejelasan pesan nilai moral.
- Value Analysis, yaitu merangsang anak untuk menganalisa nilai moral.
- Moral Awareness, yaitu menggunakan rangsangan tertentu untuk membangkitkan kesadaran anak akan nilai tertentu.
- Commitment Approach, yaitu mengajak anak untuk menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai.
- Union Approach, yaitu mengajak dan membawa anak untuk melaksanakan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari
Pembelajaran nilai dengan datang ke kompleks percandian selain mengenalkan nilai-nilai juga merupakan usaha agar anak memiliki apresiasi terhadap candi. Dengan demikian maka mengunjungi candi tidak lagi sekedar melihat tumpukan batu dan update status dalam jejaring sosial.
Kesimpulan
Komunikasi dan pendidikan adalah suatu hal yang memiliki kesamaan. Media merupakan salah satu unsur dalam berkomunikasi. Media digunakan dalam pendidikan untuk membantu menyampaikan materi ataupun informasi kepada anak-anak, dengan keberadaan media interaksi belajar mengajar menjadi maksimal sehingga hasil belajar yang diperoleh sesuai dengan tujuan.
Memanfaatkan kunjungan ke candi sebagai media pembelajaran nilai memiliki pengaruh terhadap keberhasilan pengenalan nilai apabila sebagai orangtua atau pendidik juga memiliki pemahaman terhadap media yang digunakan. Kunjungan ke candi juga merupakan usaha memperkenalkan hasil karya budaya bangsa kepada anak-anak sebagai generasi.
Kepustakaan
Anonim, Kurikulum TK dan RA Standar Kompetensi, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta,2004.
Dipodjojo S. Asdi, Cerita Binatang dalam Beberapa Relief Pada Candi Sojiwan dan Mendut, Lukman Offset, Yogyakarta, 1983.
Haryono, Timbul, “Peninggalan Bangunan Candi Di Jawa”,
Dalam Makalah Ilmiah Disajikan pada Diklat Pramuwisata Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 12-16 Februari 2001.
Kasali, Rhenald , Cracking Zone, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.
Moeliono M. Anton Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993.
M. Ashar, Kesinambungan Cerita Binatang di Indonesia,http://www.wacananusantara.org.
Sumardjo, Jakob, Filsafat Seni, Penerbit ITB, Bandung, 2000.
Syarif M. Ibnan, Wayang Sebagai Media Pengenalan Nilai pada Anak Usia Dini, Yogyakarta, B.I.D ISI Yogyakarta, 2009.
Yudoseputro,Wiyoso, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama , Yayasan Seni Visual Indonesian, Jakarta, 2008.